Sesungguhnya benar yang diduga Kakek Topo, mereka mengambilnya untuk bermain masak-masakan dan bermain adu lempar. Melihat tak ada jawaban, Kakek Topo menambahkan. “Jika saja bakal-bakal buah ini kalian diamkan di tempatnya, di dahan tempatnya bergantung, ia akan berkembang menjadi besar, semakin besar, akhirnya siap dipetik dan siap dinikmati. Pasti enak rasanya. Aku merasakannya setiap tahun. Manis!” kakek Topo berbicara terus, sambil memegang beberapa bakal buah yang terlanjur dipetik.
“Nanti, setelah kamu makan daging buah mangga yang manis itu, kamu bersihkan bijinya, lalu….,kamu tanam lagi di tempat yang kamu suka. Sabarlah menanti. Beberapa tahun kemudian kamu akan melihat sebatang pohon mangga yang sama besarnya dengan pohon mangga ini. Pohon mangga itu juga akan memberikan buah yang sama enaknya dengan buah mangga di pohon ini. Percayalah!” Kakek Topo terus saja berbicara. Ia tahu, anak-anak itu mendengarkan dengan saksama, walaupun terlihat agak takut. Mereka takut Kakek Topo marah.
Namun, Kakek Topo tidak ingin marah. Ia ingin anak-anak itu belajar. Maka ia pun terus berbicara. “Hitung saja, berapa banyak bakal buah yang sudah kalian petik. Artinya, berapa banyak calon pohon mangga yang tidak jadi tumbuh dan berkembang? Sayang ‘kan? Jangankan berpikir pohon mangga. Buah mangga manis yang sebentar lagi dapat dinikmati pun berkurang jumlahnya karena terlalu cepat dipetik.”