Di hari keempat ibu membawaku ke dokter. Kata dokter, aku harus menjalani pemeriksaan darah. Duh, aku takut sekali! Untung ibu selalu ada di sampingku, memegang tanganku, menenangkan aku. Ternyata esok hari ibu memberi kabar, dokter menyatakan aku harus dirawat di rumah sakit. Aku terserang virus demam dengue, dan perlu dipantau dengan seksama oleh dokter dan perawat di rumah sakit. Aku menangis. Aku takut. Aku membayangkan tidur di tempat yang asing, dirawat oleh orang asing juga. Ibu menenangkan aku. Ibu berjanji sebisa mungkin akan selalu ada di dekatku.
Ternyata, dugaanku tidak benar sepenuhnya. Memang, aku harus tidur di tempat yang asing bagiku. Di tempat tidur yang berpagar. Tiang infus berdiri tegak di samping tempat tidur. Jarum infus harus menempel di tanganku untuk mengalirkan cairan yang dibutuhkan tubuhku. Tetapi, di rumah sakit aku berkenalan dengan Suster Komala. Tak pernah sekali pun aku melihatnya tanpa senyum. Sabar sekali ia membantuku. Ia pun terampil memasang jarum infus di tanganku. Suster Komala tahu aku takut sekali. Maka, ia mengajakku bercerita, sehingga aku lupa dengan rasa takutku.
Pernah sekali, ibu harus pulang ke rumah di sore hari, sementara ayah belum pulang dari kantornya. Ibu menitipkanku pada Suster Komala. Tentu saja Suster Komala tidak dapat menemaniku terus, ada pasien lain yang juga harus dirawatnya. Aku diberinya buku bacaan, agar aku tidak kesepian. Ketika aku butuh sesuatu, aku boleh membunyikan bel, begitu pesannya. Ketika tiba waktu makan, Suster Komala yang membantuku. Tanganku yang diinfus membuat gerakku terbatas. Aku makan dengan lahap, sambil bercerita tentang apa yang terlintas di benakku. Aku senang bercerita pada Suster Komala. Ia selalu menanggapi ceritaku dengan baik, ia juga terus tersenyum. Ketika harus minum obat, Suster Komala juga memberiku semangat. Pahit sedikit tidak apa- apa, yang penting segera sehat. Begitu pesannya.