Setelah habis ceritaku, kakek berkata “Jangan memberatkan hati dengan masalah yang kecil. Coba cari akal untuk meringankan beban hatimu.”
“Bagaimana caranya, Kek? Aku sudah diam.., dan diam tidak menanggapi. Tetapi, teman-temanku tidak berhenti mengejekku.” aku menjawab permintaan Kakek dengan cepat.
“Besok, ketika teman-teman mengejekmu… ’Si hitam… Si hitam…!’ kamu jawab saja ‘tapi manis, ‘kan?” Kakek memberiku saran.
Aku heran. Saran apa itu? Aku takut teman-teman akan semakin mengejekku. Tetapi, kakek meyakinkan aku. Ia malah memintaku melatihnya berulang-ulang. Sore itu, aku bisa tertawa. Biarlah. Aku coba saja besok. Mungkin saja Kakek benar, begitu pikirku.
Ternyata, Kakek benar! Esok harinya, ketika teman-teman mengejekku lagi, aku langsung menjawab. Aku menjawab dengan kalimat yang sudah berulang kali aku latih.
“Tapi maniiiiss, ‘kan?”
Ajaib! Teman-temanku lalu diam termangu mendengar jawabanku.
Lalu, salah seorang temanku menjawab pelan “Iya sih…, kamu memang hitam, tetapi memang maniis juga…” begitu katanya. Temanku yang lain lalu tertawa. Lalu, aku juga tertawa. Kami memang berteman dekat, walau kadang-kadang kami lupa batas ketika bercanda.
Benar kata Kakek! Tak perlu memberatkan hati dengan masalah yang kecil. Gunakan akal yang cerdik untuk meringankan beban hati. Kakek membelaku dengan caranya yang cerdik. Kakek mengajarku untuk membela diri dengan akal pikiranku. Terima kasih atas nasihatmu…, Kakek, Pahlawanku!