Putri Tangguk dan suaminya bergegas memeriksa lumbung yang lain. Betapa terkejutnya mereka ketika mendapati ketujuh lumbungnya telah kosong. Putri Tangguk pun menangis.
”Apa yang terjadi padaku? Tadi malam nasi dan beras hilang. Sekarang padi di lumbung pun juga ikut menghilang,” jerit Putri Tangguk.
”Jangan cemas, istriku. Bukankah kita masih memiliki sawah. Besok kita ke sawah. Siapa tahu padinya telah menguning,” hibur suami Putri Tangguk.
Keesokan paginya Putri Tangguk mengikuti suaminya ke sawah dengan cemas. Setibanya di sawah, tangis Putri Tangguk semakin keras karena mendapati sawahnya telah berubah menjadi semak belukar.
Putri Tangguk menagis seharian. Bahkan, ia tidak mau pulang dan menunggui sawahnya hingga tertidur. Dalam mimpinya, Putri Tangguk didatangi segerombolan padi yang dapat berbicara.
”Hai, Putri Tangguk. Inilah buah dari kesombonganmu. Masih ingatkah engkau ketika membuang kami ke jalan?” tanya padi-padi itu.
”Kau telah menghina kami. Kau telah menjadikan kami pasir untuk alas jalanmu. Kami ini dipanen untuk dimakan, bukan untuk dibuang sembarangan. Dengan membuang kami, berarti kamu tidak membutuhkan kami untuk makananmu,” kata padi-padi itu lagi.
Putri Tangguk hanya bisa diam dan tidak menjawab. Ia menyesali kebodohannya. Ia pun memohon maaf kepada padi-padi itu.
”Tak bisakah kalian memaafkanku? Aku telah menyesali perbuatanku,” kata Putri Tangguk sambil menangis.
”Sekarang kau dan keluargamu harus bekerja keras. Bersihkan sawah ini, bajaklah, lalu tanamlah kami kembali. Setelah tiga bulan, barulah kalian dapat memanen kami kembali,” jawab padi-padi itu.