Latihan silat diadakan dua kali seminggu setelah magrib. Dede tekun berlatih. Dia sudah bisa melakukan gerakan memukul, menendang, menangkis, dan menghindar. Bang Toyib, salah satu pelatih memberi penjelasan kepada anak-anak,”Silat adalah seni beladiri, bukan seni menyerang. Dalam suatu pertandingan, yang harus kita perhatikan adalah bagaimana kita bisa mengalahkan musuh tanpa harus menyakitinya. Jangan pernah menganggap lawan bertanding adalah musuh, mereka adalah mitra tanding untuk meningkatkan kemampuan beladiri kita.” Anak-anak mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan Bang Toyib.
Setelah beberapa bulan mengikuti pencak silat ada perubahan dalam diri Dede. Sekarang badan Dede menjadi lebih sehat dan kuat. Dia juga lebih percaya diri. Akan tetapi, Dede menjadi sombong. Ayah memperhatikan perubahan itu dan menjadi khawatir.
Suatu hari, ayah memergoki Dede berkelahi dengan Tomi. Ayah melerai mereka. “Dia yang mulai, Yah,” kata Dede. “Bukan Pak. Dede yang mulai. Tadi Dede menendang pantat saya,” kata Tomi membela diri. Sampai di rumah, ayah menasihati Dede. “Dede, pencak silat itu bukan untuk gagah-gagahan. Silat berfungsi sebagai olahraga dan beladiri,” kata ayah. “Orang yang belajar silat harus menjaga hati. Tidak boleh menuruti emosi,” nasihat ayah. “Jangan salah gunakan ilmu silat yang kamu miliki. Gunakan untuk membela diri atau untuk membela orang yang lemah,” kata ayah. “Maafkan Dede, Yah. Dede tidak akan mengulangi lagi,” Dede menunduk menyesal. Dia menyadari kesalahannya. Dalam hati Dede berjanji akan mempergunakan ilmu silat yang dia miliki untuk kemaslahatan sesama.
Menggambar Cerita
Rangkumlah cerita di atas menjadi beberapa adegan. Kemudian, buatlah gambar cerita sesuai adegan yang kamu buat.