Pada jam yang sudah ditentukan rombongan pengantin laki-laki tiba di rumah Pak Sobari. Walaupun keluarga pengantin laki-laki berasal dari Palembang, mereka mengenakan pakaian adat Betawi. Rombongan pengantin laki-laki ini berjalan berarak-arakan dengan diiringi rebana dan ketimpring. Para kerabat dan keluarga ikut dalam iring-iringan itu. Mereka membawa sejumlah seserahan mulai dari roti buaya yang melambangkan kesetiaan abadi, sayur-mayur, uang, jajanan khas Betawi, dan pakaian.
Penyambutan rombongan pengantin laki-laki didahului dengan upacara adu silat. Adu silat merupakan salah satu adegan yang selalu muncul pada palang pintu perkawinan. Palang pintu perkawinan adalah salah satu prosesi yang harus dilalui oleh kedua mempelai menjelang pernikahannya.
Tradisi palang pintu ini merupakan pelengkap saat pengantin laki-laki yang disebut ”tuan raja mude” akan masuk ke rumah pengantin perempuan atau ”tuan putri”. Upacara ini diawali dengan saling bertukar salam. Lama-lama situasi memanas karena pihak pengantin perempuan menguji kesaktian dan kepandaian pengantin laki-laki dalam berilmu silat dan mengaji. Kemudian, terjadi baku hantam dan pihak laki-lakilah yang menang. Usai pertarungan ini, pengantin laki-laki diminta memamerkan kebolehannya membaca Alquran.
”Paman, pakaian pengantinnya bagus ya?” kata Fika, ”apa namanya, Paman?”
Maudy dan Alfian, sepasang pengantin itu, mengenakan pakaian adat Betawi. Alfian mengenakan pakaian seperti dandanan haji dan mengenakan tutup kepala yang disebut alpia atau alpie. Di pinggir alpia diberi untaian bunga melati yang ujung bawahnya ditutup bunga cempaka dan ujung atasnya diberi sekuntum bunga mawar merah. Jubah yang dikenakan pengantin laki-laki biasanya terbuka dan dihiasi dengan emas, manik-manik bermotif burung hong, bunga-bungaan, kubah masjid, dan sebagainya. Pengantin laki-laki juga mengenakan baju gamis sebelum mengenakan jubah. Sebagai pelengkap, pengantin laki-laki mengenakan selempang berhiaskan mute sebagai tanda kebesaran.