Bunga Paling Berharga
Makale tinggal di sebuah desa yang selalu kekeringan. Hujan jarang turun di desa itu sehingga tidak banyak tetumbuhan. Jangankan bunga-bungaan, semak-semak pun jarang ditemui.
Suatu hari, sebelum berakhirnya pelajaran, Bu Mala memberi seluruh siswanya masing-masing sebuah buku tulis. Buku tulis itu halaman-halaman dalamnya berwarna putih dan bersampul merah. Indah sekali.
“Buku tulis itu untuk kalian. Kalian boleh menulis apa saja di dalamnya,” kata Bu Mala.
“Saya mau menuliskan catatan harian di buku ini,” kata Nola.
“Saya mau menggambar wajah setiap orang yang saya temui,” kata Wendi yang hobi menggambar.
“Saya mau membuat herbarium,” kata Makale.
Bu Mala memandang Makale dengan penuh keheranan mendengar ucapan Makale.
“Kamu mau membuat herbarium?” tanya Bu Mala kepada Makale.
“Ya. Seorang pelancong pernah menunjukkan buku herbariumnya kepada saya. Herbarium itu sangat indah,” jawab Makakale.
“Tetapi, untuk membuat herbarium kamu akan membutuhkan banyak daun. Tahukah kamu?” tanya Bu Mala.
Makale menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Atau bunga…”
“Di mana kamu akan mencarinya?” tanya teman-teman Makale. Makale memandang keluar jendela. Tidak tampak tanaman sama sekali.
“Saya akan mendapatkannya,” kata Makale sambil tersenyum.
Hari berganti hari. Waktu berlalu dengan cepat. Buku tulis merah milik para siswa Bu Mala telah berisi berbagai cerita, gambar, dan foto. Hanya buku tulis Makale yang masih kosong.