Namun, yang terjadi setelah itu bagaikan pil pahit. Label Nilou yang sudah mendunia ternyata didaftarkan pihak lain. Hubungan usaha Niluh dengan rekan-rekan di dunia internasional pecah.
“Mereka tetap jalan dengan mass production bermerek Nilou, berbasis di Cina,” ujar Niluh. Hal terberat harus dilakukan oleh Niluh, yakni membunuh Nilou, merek yang lahir dan tumbuh dari cintanya.
Niluh kembali ke belakang layar dengan berkonsentrasi memproduksi sepatu untuk desainer asing. “Berat? Sudah pasti. Namun saya yakin bahwa yang saya bunuh adalah sekedar merek,bukan cinta saya. Mesin jahit tetap jalan, para pengrajin tetap bisa berkarya bersama saya, itu hal terpenting buat saya. Hal lain bisa diperjuangkan”.
Cinta dan semangat juang Niluh membawanya cepat bangkit. Pada awal tahun 2008, ia memulai lagi usahanya dengan memproduksi sepatu bermerek “Niluh Djelantik”, yang langsung dipatenkan untuk menghindari masalah yang lama terulang. Sekarang, merek Niluh Djelantik sudah berkibar kencang di dunia, bahkan di kalangan para selebriti.
Atas kerja kerasnya, Niluh meraih Best Fashion Brand & Designer The Yak Awards in 2010. Dinominasikan sebagai Ernst & Young for Ernst & Young Entrepreneurial Winning Women 2012 Awards. Sebagai persembahan bagi pecinta sepatu, Niluh membuka butik Niluh Djelantik seluas 250 meter persegi di Bali pada pertengahan Maret 2012.
Kisah jatuh bangun dalam kecintaannya pada sepatu, tak pernah dikubur oleh Niluh. Ia tak pernah menyesali keputusan menolak produksi massal dan menghapus merek Nilou. Keputusan yang diambilnya berat, karena memiliki dua kemungkinan konsekuensi, yakni bangkrut karena melawan perusahaan yang lebih besar atau justru berhasil.