Benar saja, tak lama kemudian Sang Pemburu datang memeriksa perangkap. Dibuangnya satu persatu perekat di tubuh burung-burung itu. Ia kecewa karena hampir semua burung dalam keadaan mati. Dibuangnya burung-burung itu ke luar perangkap. Ketika akan membuang burung terakhir, yaitu si Raja Burung Parkit, Sang Pemburu jatuh terpeleset. Burung-burung yang berpura-pura mati kaget! Serempak mereka terbang tinggi. Tinggal si Raja Burung di tangan Sang Pemburu.
Awalnya, Sang Pemburu berniat menyembelih burung tersebut, tetapi Raja Burung memohon belas kasihan. “Jika kau biarkan aku hidup, aku akan menghiburmu dengan nyanyianku tiap hari,” katanya.
Sang Pemburu pun mengurungkan niatnya. Seperti janjinya, tiap hari Si Raja Burung Parkit bernyanyi. Indah suaranya, terdengar hingga ke istana. Maka, Raja Manusia memanggil Sang Pemburu.
“Aku mendengar kicau burungmu yang indah sekali. Jika engkau bersedia mempersembahkan burung itu untukku, aku akan menukarnya dengan sekarung emas,” pinta Raja Manusia. Tanpa berpikir dua kali, Sang Pemburu menukar Raja Burung Parkit dengan sekarung emas.
Sang Raja Manusia meletakkan burung indah itu di sangkar emas yang indah dan besar. Raja Burung Parkit sangat disayang oleh Raja Manusia. Setiap hari ia diberi makanan yang enak. Tugasnya hanya bernyanyi setiap hari untuk Sang Raja Manusia. Tetapi di dalam sangkar emas, hatinya pilu. Ia rindu pada hutannya, rindu pada rakyatnya, rindu pada lebat pohon dan aneka makanan di hutan.