Di antara antrian, ada Banu teman sekelas Imah. “Hai Banu, sering juga kamu sarapan bubur ayam di sini”, sapa Imah.
“Ya sering lah. Bagaimana lagi? Ibuku tidak mungkin menyediakan sarapan tiap pagi. Sebelum subuh ia sudah berangkat ke pasar. Ia harus bersiap-siap untuk berjualan di sana”, kata Banu.
“Sesungguhnya, aku lebih menikmati masakan ibuku. Lebih lezat, lebih sehat, dan yang pasti dibuat dengan penuh kasih sayang. Tapi aku paham, bukan karena tidak sayang ibuku tidak membuat sarapan untukku. Tetapi hanya karena ia tidak punya cukup waktu, untuk mengerjakannya, beliau membantu ayah menghidupi keluarga,” tambah Banu.
“Makanya, kami sangat menikmati suasana makan malam. Makan masakan ibu, sesederhana apa pun menunya, selalu terasa lebih nikmat.” Banu terus berbicara, tanpa memperhatikan Imah yang hanya termenung mendengarkan.
Tiba giliran Imah menerima mangkuk buburnya. Tiba-tiba, rasa bubur ayam yang biasanya nikmat, seperti mengganjal di tenggorokannya. Imah teringat oseng tempe buatan ibu yang dibiarkannya tergeletak di meja tadi pagi.
Menyesal rasanya. Imah terkesima dengan keluh Banu, yang hanya mampu berharap sarapan dengan masakan ibunya. Sementara ia, bahkan mengucap terima kasih pun tidak.
Segera dihabiskannya bubur semangkuk itu. Bersiap diri untuk mengayuh sepeda menuju ke sekolah. Namun, sejenak Imah terhenti. Dilihatnya sebuah pemandangan yang menyesak hati di pojok jalan. Sekelompok anak berbaju lusuh terlihat mengerubungi sebuah mangkuk bubur. Mereka berbagi semangkuk bubur yang diberikan bapak penjual. Tertawa-tawa mereka, sambil berebut menyendok bubur, tak peduli hanya sesuap dua suap yang diperoleh.