Puyuh tergelak. “Untuk apa menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk membuat sarang? Lihatlah sarangku. Aku bahkan tak perlu membuatnya.”
Puyuh menunjukan sarangnya, pohon tumbang yang dijadikan Puyuh sebagai tempat berlindung. Tempua mencibir.
”Itu bukan sarang. Lagi pula, jika hanya seperti itu, musuh mudah menangkapmu.”
Puyuh menggeleng. “Tidak, mereka tak tahu keberadaanku. Aku akan sering berpindah serang.”
Tempua terdiam sejenak. Dia merasa bahwa sarangnya masih jauh lebih baik daripada sarang Puyuh. Untuk membuktikannya, dia mengajak Puyuh menginap di sarangnya. Dia yakin, Puyuh akan mengakui bahwa sarangnya jauh lebih baik.
Puyuh setuju dan mengikuti Tempua pulang. Saat menuju ke sarang Tempua, Puyuh cukup kelelahan. Maklum saja, selama ini, dia tak perlu terbang tinggi untuk kembali ke sarangnya sendiri.
Tak lama kemudian, mereka berdua tidur. Namun, Puyuh gelisah, dia kehausan. Dia lalu membangunkan Tempua untuk meminta minum. Namun, Tempua tak punya air.
Puyuh tak mungkin terbang keluar untuk mencari air. Suasana di luar gelap gulita, lagi pula sarang itu tinggi sekali. Akhirnya, Puyuh tidur sambil menahan haus.
Beberapa saat kemudian, ada angin kencang bertiup. Pohon tempat sarang Tempua bergoyang-goyang hebat. Puyuh ketakutan.
”Tenang saja. Sarangku kuat, kita tak mungkin jatuh,” hibur Tempua.
Tempua benar. Tak lama kemudian, angin berhenti bertiup. Mereka berdua masih aman di dalam sarang. Namun, Puyuh masih ketakutan. Malam itu, dia tak bisa tidur nyenyak.