Begitu melihat Ayahnya berangkat, Dindin bergegas keluar kamar dan langsung berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Sebenarnya Dindin senang berangkat bersama ayahnya ke sekolah.
Hanya saja ada yang membuatnya gelisah. Beberapa teman sekelasnya mulai mengolok-olok sepeda milik ayahnya. Menurut mereka, sepeda Ayah sudah kuno dan ketinggalan zaman.
Ayah memang pernah bercerita bahwa sepeda Ayah memang sepeda yang dibuat pada zaman Belanda dulu. Sudah sangat tua. Orang-orang menyebutnya sepeda ontel. Sepeda ini terbuat dari rangka besi yang kuat dan tinggi.
Ayah sangat sayang dengan sepeda itu, bahkan sangat bangga. Setiap hari sepeda itu dirawat dan diperiksa dengan teliti. Ayah bahkan memberinya nama sendiri: Srikandi.
Siang itu, Dindin pulang sekolah dengan berjalan kaki menyusuri jalan yang sepi. Panasnya matahari membuat Dindin merasa kelelahan. Ia lupa membawa botol air minumnya. Dindin merasa kehausan, dan tiba-tiba kepalanya pening, matanya berkunang-kunang, keringatnya bercucuran. Dindin merasa hendak pingsan.
Tiba-tiba terdengar suara bel sepeda dari belakang. Kriiing kreeng-kriiing kreeng! Itu suara sepeda ayahnya
“Din, ayo cepat naik. Kamu pucat sekali! Kamu pasti dehidrasi,” perintah Ayah. Walaupun Dindin merasa segan naik sepeda ayahnya, tetapi ia merasa tidak punya banyak pilihan. Dindin menurut. Ia pulang dibonceng ayahnya.
“Ini sepeda peninggalan kakekmu, Din,” kata Ayah ketika Dindin meminta penjelasan mengapa ayahnya sayang sekali dengan sepeda ontel tua itu. Dindin sudah terlihat lebih segar setelah minum cukup air, dan merebahkan dirinya di kursi ruang tengah. Dindin memang tak sabar ingin bertanya soal itu.