Ridwan manggut-manggut mendengarnya. “Keuntungan penggunaan kincir air ini adalah hemat energi, hemat biaya, dan ramah lingkungan, karena tidak menggunakan listrik,” tambah Ayah.
Sesampainya di sungai, Ridwan melihat sudah banyak warga desa yang berkumpul untuk mengerjakan kincir air.
“Wah, ramai sekali yang mau ikut gotong-royong,” seru Ridwan takjub.
Tak lama kemudian, bapak-bapak dan para pemuda desa mulai membuat kerangka kincir. Mereka membagi tugas. Ada yang mengukur panjang bambu dan kayu. Ada yang memotong dengan gergaji. Ada juga yang memaku dan mengikat kerangka kincir.
Semua dilakukan secara hati-hati agar kincir seimbang dan berputar pada porosnya dengan sempurna. Menjelang siang, pekerjaan dihentikan sementara untuk beristirahat. Ibu-ibu desa sudah menyiapkan makanan dan minuman. Walau dengan hidangan sederhana, mereka menikmatinya bersama-sama.
“Hebat ya, Ayah. Membangun kincir air itu termasuk pekerjaan berat, tapi semua jadi terasa ringan dan lebih cepat karena gotong-royong,” kata Ridwan.
“Seperti kata pepatah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Pekerjaan yang berat akan terasa ringan jika dilakukan bersama-sama,” tanggap Ayah.
Pekerjaan dilanjutkan kembali setelah mereka semua cukup beristirahat. Butuh waktu seharian untuk menyelesaikan membangun kincir air. Setelah semua bagian kincir terpasang, mereka mencoba untuk menjalankannya.
Rasa lelah mereka terbayar ketika kincir air dapat bekerja dengan baik. Air dengan mulus naik dan jatuh ke talang yang sudah disediakan. Sawah yang mengering akhirnya bisa mendapatkan pengairan. Segenap masyarakat desa Manggungsari bersorak gembira.