“Aduh!” Edo mengerang kesakitan.
Bagus, Damar, dan Bimo yang melihatnya segera menolong Edo. Bagus memapah Edo menuju kursi. Bagus segera mengambil peralatan P3K di lemari kelas. Luka di dahi Edo segera ia obati.
“Aku akan mengantarmu pulang, Edo,” kata Bagus.
“Terima kasih, Bagus. Aku bisa pulang sendiri, kok,” tolak Edo.
“Emm, kenapa belakangan ini kamu selalu menghindariku, Edo? Apa salahku? Bukankah kita berteman sejak lama?” tanya Bagus.
Edo menunduk. Ia lalu menghela napas.
“Sebenarnya, aku tidak bisa menerima kekalahanku waktu pemilihan ketua kelas. Aku iri kepadamu, Bagus. Sebagian besar teman-teman lebih memilihmu daripada aku. Padahal, sedari dulu aku yang menjadi ketua kelas!” jelas Edo.
“Aku tidak ingin bermaksud menggesermu yang biasa menjadi ketua kelas, Edo. Aku ikut menjadi kandidat ketua kelas karena pilihan teman-teman, termasuk kamu, kan, Do?” kata Bagus.
Edo ingat, waktu itu memang ia yang mengusulkan nama Bagus untuk ikut juga menjadi kandidat. Saat itu, Edo sangat yakin, ia yang akan terpilih menjadi ketua kelas, bukan Bagus.
Bukankah saat itu kita melakukan pemilihan secara terbuka dan jujur, Do? Ingat, kan kata Bu Aneke? Kita harus sportif. Yang tidak terpilih harus berbesar hati mau memberikan kesempatan kepada yang lainnya,” Damar menimpali.
“Bu Aneke juga bilang, dengan bersikap sportif sebetulnya kita sudah menjadi pemenang. Menang karena mampu menunjukkan kebesaran jiwa untuk menerima kekalahan,” tambah Bimo.